Monday, 24 February 2014

Mengetuk Pintu Langit

Irsyad Azizi, Lc. Penghujung musim panas yang mengesankan. Terpaan hawa panas menyengat, perlahan berganti dengan semilir angin lembut. Kegerahan berganti dengan kesejukan musim gugur yang halus. Gelinding roda waktu menelan peristiwa demi peristiwa, untuk berkumpul abadi dalam lembar sejarah. Tidak ada yang abadi, selain Dzat yang menciptakan segala perubahan. Kepadanya segala harap dicurahkan, semoga pergantian hari menjadi saksi prestasi penghambaan terbaik kepadaNya.
Sapaan nyaman musim gugur tahun ini seirama persis dengan hadirnya taman idaman bernama Ramadan. Bila musim gugur berarti berlalunya iklim gerah musim panas, maka Ramadan ibarat pohon rindang di tengah teriknya mentari siang padang sahara. Tempat dimana musafir dunia membentang permadani tafakur selepas bergumul dengan panasnya hawa bumi yang carut marut. Malam-malam ini, seantero langit jagad raya menjadi haru biru dihiasi lantunan ayat-ayat suci dalam tarawih dan qiyam panjang para hamba Allah. Ribuan shaf anak manusia tumpah ruah mengisi ruang-ruang mesjid di seluruh pelosok dunia. Memuji Tuhan yang sama. Menghadap ke arah yang sama. Membaca ayat-ayat dari kitab yang sama. Berdiri, rukuk, dan sujud dalam irama senada. Semuanya bergerak seiring, meninggalkan carut-marut duniawi, mi`raj dengan kalbu menuju pintu langit. Mengharap kedekatan dengan sang pemilik semesta. Selalu saja, Ramadan datang menghadirkan suasana khusuk yang sulit didefenisikan. Tarawih, tadarus, bangun sahur, dan menikmati ifthar, menjadi harmoni syahdu yang membuat bulan ini wajar untuk dirindukan. Sebagai makhluk yang tidak sempurna, adalah hatmiy bahwa kesalahan, kekeliruan, lupa, dan alfa, selalu menemani hampir setiap jengkal hidup anak manusia. Tidak satupun makhluk yang berhak tinggal di muka bumi, bila setiap maksiatnya langsung berbuah azab. Maha benar Allah, "Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ia tinggalkan satu makhluk melata pun di muka bumi". (QS. An-Nahl: 61). Tapi, rahmat Allah mengharuskan ada jatah waktu untuk para hamba menggapai jendela ampunan, setelah tengelam dalam kubangan maksiat. Untuk mengendus aroma kebenaran, setelah terlelap dalam gelapnya kejahiliyahan. Untuk bersimbah airmata taubat, setelah mabuk dalam hitamnya dosa. Ramadan datang untuk menebar makna itu. Ia hadir sebagai wujud cinta sang khalik untuk makhluknya. Bukti betapa kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya. Ada segudang karunia hadir secara beruntun di sini. Lihatlah, pintu-pintu sorga di buka, pintu-pintu neraka dikunci, syetan-syetan dibelenggu. Rahmat, maghfirah, dan jaminan merdeka dari jeratan neraka, menjadi medali agung yang menggiurkan. Ada juga sepotong malam yang lebih agung dari seribu malam. “Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman). Kesombongan apa lagi yang lebih besar daripada keengganan menerima pemberian dari Dzat yang Maha Perkasa? Kedunguan mana lagi yang melebihi kemalasan mendekati oase sejuk di tengah sahara membakar? Tiga puluh hari bukan waktu yang panjang. Bila kini ia datang sebagai sunnah Allah dalam perputaran masa, ia kelak juga akan pamit, berlalu tanpa satu makhluk pun yang bisa menghambat. Maka, “Rugi dan meranalah orang-orang yang bertemu dengan Ramadan, namun dosanya tidak diampuni.” Menyesallah bila ketika kumandang takbir kelak bergaung, kita masih gagal mengetuk pintu langit. Masih bersimbah dosa dan nafsu, padahal jutaan anak manusia lainnya berhasil keluar dengan prediket takwanya. Semoga ada sekelumit harapan membuncah untuk menjadikan Ramadan kali ini sebagai lembaran terbaik dalam catatan amal. Allaahumma a`innaa `alaa dzikrika wa syukrika wa husni `ibaadatik.

0 komentar:

Post a Comment