Irsyad Azizi (2005)
Hubungan antar makhluk merupakan tonggak terpenting dari keberlangsungan gerak hidup alam semesta. Mustahil membayangkan wujudnya kehidupan tanpa proses interaksi. Sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk Allah yang paling menyatu dengan proses interaksi. Ibarat gula dan manisnya, manusia dan interaksi adalah dua sisi yang tidak terpisahkan. Kebutuhan manusia kepada sesama merupakan fitrah dan aksioma hidup yang tidak mampu digantikan oleh fasilitas termewah sekalipun. Kelengkapan surga-pun ternyata tidak mampu menggantikan rasa kebutuhan Nabi Adam as. terhadap kehadiran seorang manusia sepertinya.
Dalam kacamata syar`i, kesuksesan interaksi horizontal sesama manusia amat menentukan kesuksesan interaksi vertikal dengan Allah swt. Islam memandang bahwa hablumminallalah dan Hablumminannas merupakan satu kesatuan yang erat. Maka ibadah setekun apapun belum akan dapat menggugah ridho Allah bila belum dibarengi dengan hubungan yang harmonis dengan sesama. Seorang wanita ahli ibadah pernah Rasul cap sebagai penghuni neraka karena interaksinya yang amburadul dengan tetangganya.
Bentuk terkecil dari interaksi sosial adalah lingkungan rumah sebagai miniatur sebuah masyarakat. Khusus untuk kalangan mahasiswa, rumah tidak selalu identik dengan rumah tangga pasca nikah. Kehidupan kos-kosan adalah warna lain dari nuansa rumah tangga. Sebagai sesama mahasiswa, hidup dalam naungan satu atap merupakan kehidupan penuh romantika. Bisa dibayangkan, ketika satu rumah menampung kumpulan manusia-manusia atraktif dan energik, di mana masing-masing memiliki kesibukan dan aktivitas yang sangat mungkin berbeda. Belum lagi tabiat dan adat istiadat yang belum tentu sama, plus latar belakang daerah atau keluarga yang beragam. Dengan segala tantangan itu, penghuninya tentu amat berharap komunitas kecil ini menjadi taman surga. Tempat dimana segala beban rutinitas di luar sana ditumpahkan. Tempat melepas kesal setelah seharian sibuk dengan berbagai aktivitas melelahkan. Tapi, bagaimana mewujudkan impian ini? Secara ringkas, pointer-pointer berikut memaparkan kiat-kiat penting untuk menuju ke arah itu.
o Pilihlah Pemimpin
Sekecil apapun komunitas, ia mutlak membutuhkan pemimpin sebagai pengontrol dan pengarah iklim komunitasnya. Karena akan sampai masanya dimana seluruh elemen komunitas ini dibenturkan kepada berbagai problematika yang membutuhkan solusi bersama. Akan tiba saatnya, dimana sebuah keputusan bersama harus dicetuskan dalam menghadapi kondisi sulit. Di sinilah peran pemimpin bermain.
Cukuplah peristiwa pasca wafatya Rasul saw. menjadi ibrah tentang pentingnya pemimpin dalam sebuah kelompok. Para sahabat ketika itu bahkan mengesampingkan urusan jenazah Rasul untuk memilih khalifahnya terlebih dahulu.
Maka, bila dalam rumah tangga pasca pernikahan ada suami sebagai nahkoda pelayaran, di rumah kita mahasiswa, idealnya ada sosok senior sebagai pemimpin rumah. Selain dari sisi pengalaman yang mungkin lebih matang, secara psikologis, keberadaan senior jelas akan menghadirkan suasana berbeda bagi junior-junionya. Bila ini tidak ada, minimal ada satu orang yang didaulat bersama sebagai pemimpin rumah.
o Singkirkan Egoisme, Tumbuhkan Sikap Saling Menghargai
Mengutip kalimat Syeikh Muhammad Al Ghazali: “Naluri untuk mencintai diri sendiri merupakan tabiat alami yang mengakar dalam diri anak adam” Manusia normal tentunya menginginkan kebaikan bagi pribadinya. Hanya saja, sifat alami ini menjadi penyakit ketika ia merugikan orang lain. Inilah virus egois yang kerap menghancurkan kebersamaan sebuah komunitas.
Oleh karena itu, waspadailah sejak dini tumbuhnya penyakit ini dalam komunitas rumah, bila tidak ingin gagal menggapai keharmonisan. Caranya, tentu saja dengan melatih diri menghargai kepentingan orang lain. Berlatih menyadari bahwa sebagaimana kita, orang lain juga mempunyai kebutuhan. Mulailah merasakan bahwa suara tape kita yang terlalu keras mungkin mengganggu ketenangan belajar teman kamar sebelah misalnya. Atau mulailah merasakan bahwa menghadiri acara kumpul rumah ternyata juga tak kalah penting dengan jadwal rutin kita menghapal di mesjid. Oh ya, boleh jadi kain rendaman kita yang mungkin akan merayakan hari ke-30nya di dalam deterjen, sangat mengganggu kepentingan teman lain yang ingin menggunakan ember yang sama. Begitu seterusnya.
o Pupuk Rasa Saling Paham (Tafâhum)
Perbedaan daerah asal atau keberagaman tabiat pribadi menjadi tantangan tersendiri dalam sebuah komunitas, khususnya lingkungan rumah. Perlu kehalusan rasa dalam memahami sikap, kebiasaan dan kecenderungan teman serumah. Butuh kepekaan nurani dalam menangkap perubahan-perubahan ekspresi dalam komunitas mini ini. Mundur selangkah demi menghormati anggota rumah yang lain akan sangat membantu proses terbentuknya kebersamaan yang indah. Sekali-kali, mundurlah dari selera pedas yang kita sukai misalnya, untuk menghidangkan cita rasa manis yang mungkin disukai teman lain. Tidak ada salahnya membawa bungkusan garam ke meja makan bila kita penggemar masakan asin. Itu lebih baik ketimbang membuat seluruh masakan menjadi asin dan mengorbankan anggota rumah yang anti dengan rasa itu. Bagi kita yang memiliki kepribadian ceria dengan tawa canda yang selalu merekah, sekali-kali mulailah berpikir bahwa boleh jadi tawa lepas berbuntut luka di hati teman lain yang hingga akhir bulan mungkin belum menerima minhahnya. Yah, memang butuh banyak kelapangan dada dalam membentuk keharmonisan yang diidamkan. Dan justeru di sanalah letak indahnya interaksi.
o Jalankan Kewajiban
Tak kalah penting dari semua itu adalah menjalankan kewajiban semaksimal mungkin. Perlu diingat, kelalaian kita terhadap satu kewajiban rumah saja, boleh jadi berdampak sangat besar kepada seluruh rangkaian aktivitas anggota rumah yang lain.
Bayangkan, bila keterlambatan kita menghidangkan masakan pagi misalnya, ternyata harus membuat teman lain mengundur keberangkatan kuliah dan mengorbankan jam pelajarannya. Atau tumpukan piring kotor di hari piket kita, ternyata membuat tertundanya jadwal rapat penting teman serumah. Bila sudah begini, loyalitas terhadap rumah boleh jadi akan sangat cepat terkikis.
Sebaliknya, bila semua kewajiban berjalan sesuai jadwal, boleh jadi ia akan menjadi modal berharga yang membakar semangat anggota rumah menuju lapangan aktivitasnya. Subhanallah, bila masakan lezat yang dihidangkan on time oleh piket pagi ternyata mampu memberikan tenaga ekstra bagi anggota rumah untuk bergelayut lebih lama di tengah kesumpekan 80 coret misalnya. Bila sebuah aktivitas penting memaksa kita harus meninggalkan tugas rumah, tunjuklah seorang teman lain sebagai ganti, sehingga seluruh rumah dapat terselamatkan dari mudharat yang tidak diinginkan. Ala kulli hal, tugas sekecil apapun adalah peluang ibadah yang mungkin amat berharga bagi orang lain ketika kita mampu menunaikannya secara maksimal. Lebih penting lagi, boleh jadi itu menjadi resep utama kebersamaan yang amat berharga itu.
o Luangkan Waktu untuk Bersama
Tentunya keharmonisan tidak bisa terwujud tanpa kebersamaan. Walaupun kebersamaan tidak berarti harus selalu kumpul, pertemuan-pertemuan berjangka antar anggota rumah merupakan sebuah kemestian. Kumpul bersama sekali sepekan misalnya untuk saling koreksi, saling nasehat atau sama-sama baca buku dan tadabbur Al-Quran, akan sangat berguna dalam membina ikatan emosional. Bila perlu, adakan program rihlah bersama dalam jangka waktu tertentu untuk sekedar refresing dari tumpukan kegiatan dan kesibukan masing-masing. Agak sulit membayangkan keharmonisan sebuah komunitas, bila saat-saat bersama seperti ini belum menjadi kebiasaan rutin.
o Jangan Lupakan Amunisi Ruhiyah
Sesungguhnya inilah tonggak keharmonisan hakiki dalam sebuah interaksi sosial. Karena ruhiyah yang matang akan memancarkan performance yang mempesona. Sebaliknya, ruhiyah yang rapuh akan memantulkan tampilan yang kelabu. Itulah sebabnya seorang salaf mengaitkan sikap durhaka istri atau anak-anaknya dengan maksiat yang ia lakukan. Bahkan, kenakalan tikus-tikus rumah pun ia ukur dengan sejauh mana kedekatannya dengan sang khalik.
Bila hubungan antar sesama anggota rumah mulai terasa hambar, bila senyum yang ditampilkan tak lagi terasa tulus, bila prasangka sudah semakin sering menghiasi hari-hari, maka mulailah introspeksi diri, barangkali kerapuhan ruhiyah adalah pangkal dari semuanya. Kembalilah saling mengingatkan untuk melihat ke ruang nurani, seberapa jauh sudah hubungan dengan Yang Kuasa terputuskan. Saat-saat seperti ini, dua rakaat qiyam atau sehari puasa sunnah bersama amat mungkin menjadi oase damai di tengah kegersangan yang mulai menyeruak.
Penutup
Sebagai tempat dimana segala aktivitas bermulai, dan sebagai terminal dimana segala kepenatan kerja dilabuhkan, rumah adalah elemen penting yang menopang prestasi aktivitas di luar. Seringkali kesuksesan interaksi dalam masyarakat yang lebih luas berawal dari kondisi rumah yang kondusif. Sebaliknya, tidak jarang amburadulnya situasi rumah berdampak sangat negativ terhadap semua kegiatan di luar.
kesadaran akan fungsi rumah mesti terus dibangun. Sehingga cita-cita membentuk generasi ideal tidak pupus disapu badai aktivitas luar rumah yang berkepanjangan. Setelah kesadaran itu tumbuh subur, bolehlah kita menanam energi yang menghantarkan kesadaran itu menuju alam gerak. Energi itu adalah komitmen. Satukanlah visi, ikatlah harapan bersama; rumah kita harus menjadi taman indah, sehingga semua anggota rumah bisa berucap lepas: “Rumahku adalah surgaku”. Semoga...
0 komentar:
Post a Comment