Friday, 4 November 2011

Dari Merah Darah ke Putih Nurani



Dirgahayu Indonesiaku. Sehambar apapun, kita layak mengeja kalimat ini dari lubuk hati terdalam. Berkayuh di tengah gelombang, mengepak sayap di kepungan badai, berlari menyibak rintangan, tanpa terasa negara besar ini telah menginjak usia enam puluh satu tahun. Apapun, kita wajar menitikkan airmata tulus, mengenang betapa segalanya telah dikorbankan demi menghirup udara merdeka. Keberanian membaja dan kesucian obsesi para pahlawan bangsa, tertoreh abadi dalam warna merah putih yang berkibar syahdu. Di tanah ini kita lahir, di udara ini kita dibesarkan, dan air negeri ini yang mengusir dahaga kita selama puluhan tahun. Cinta tanah air adalah fitrah. Ia yang membuat Rasulullah terpekur sedih di perbatasan Mekkah, kala kemusyrikan memaksanya terusir dari Tanah Haram itu.       

17 Agustus 2011 boleh jadi akan tercatat sebagai ultah kemerdekaan tersendu yang pernah kita kecap. Tahun ini, sang saka merah putih berkibar di atas episode musibah yang seakan enggan berhenti menghujani ibu pertiwi. Terlalu banyak untuk dihitung. Terlalu getir untuk dibilang. Cukuplah rerumputan tanah ini yang mencatatnya abadi. Biarlah lembaran sejarah yang kelak mendiktekannya kepada generasi esok.

Bila dulu warna merah bendera kita demikian bangga menceritakan kisah heroik para pejuang bangsa, hari ini ia lebih suka bercerita tentang darah yang tak kunjung henti mengucur. Kalau boleh jujur, ia lebih akrab dengan isyarat musibah, ketimbang makna “keberanian” yang selama ini kita teriakkan.

Tapi, adakah merah darah mesti dihadapi dengan kepekatan emosi? Mestikah tragedi pilu disongsong dengan hitamnya keputusasaan? Mari melihat dengan mata batin. Mari meraba dengan renungan. Kibaran merah putih di hari bersejarah ini sepertinya ingin memberikan jawaban. Lihatlah, warna putihnya meliuk dinamis bersama warna merah itu. Ia seakan berbisik lembut, bahwa rentetan kegetiran ini mesti disikapi dengan kesucian kalbu, dengan keputihan nurani. Hanya di sana akan ditemukan, betapa banyak hikmah yang sering alfa dideteksi di balik hunjaman kesulitan. Betapa kebangkitan seringkali bermula dari keterpurukan. Betapa fajar selalu muncul dari balik kegelapan.

Belum terlambat untuk berbenah. Dari balik puing-puing reruntuhan, di sela-sela rintih kesakitan, kita teriakkan satu kata: bangkit! Semoga suara yang sama juga berhembus dari celah pintu istana sana, dari corong suara gedung rakyat, dan dari balik kaca mengkilap mobil mewah para pejabat negeri ini.

Semangat yang sama ingin kita tularkan ke lingkaran yang lebih besar. Semoga juga ada himbauan nurani, melihat tumpahan darah saudara-saudara seiman di sudut bumi lain. Afghanistan, Chechnya, Irak, Palestina, dan Lebanon adalah warna merah serupa yang mustahil dipisahkan dari catatan pilu kita. Darah mereka adalah nyawa kita. Penderitaan mereka adalah lara kita. Kesamaan nasib, keseragaman rasa, semoga menjadi amunisi untuk merajut kebersamaan yang compang camping dilahap serakahnya egoisme.

Semoga semua sepakat.untuk menyambut prahara dengan kalbu. Menatap musibah dengan kesadaran. Menyibak merah darah dengan keputihan nurani. (Irsyad Azizi)

0 komentar:

Post a Comment